Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat
Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang
Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman (yang artinya) : ” Katakanlah
: sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku adalah
untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya” [Al-An’am : 162] selanjutnya
klik disini:
dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.[ Minhajul Muslim (355-356)]
Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling
rajih (tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib.
Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa
hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :
Pertama.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (yang artinya) : ” Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami” [Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan]
Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan
harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini
menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada
faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan
kewajiban ini.
Kedua.
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban,
aku menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. (yang
artinya) : ” Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat
maka hendaklah ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum
menyembelih kurban maka sembelihlah” [Diriwayatkan oleh Bukhari
(5562), Muslim (1960), An-Nasa’i (7/224), Ibnu Majah (3152),
Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).] Perintah secara dhahir
menunjukkan wajib, dan tidak ada [Akan disebutkan bantahan-bantahan
terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa
hukum menyembelih kurban adalah sunnah, nantikanlah.] perkara yang
memalingkan dari dhahirnya.
Ketiga.
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau
bersabda (yang artinya) : ” Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih ‘atirah [Berkata
Abu Ubaid dalam “Gharibul Hadits” (1/195) : “Atirah adalah sembelihan
di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah
dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga
dihapus setelahnya.] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu ‘atirah ?
Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiyah” [Diriwayatkan
Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128),
At-Tirmidzi (1518), An-Nasa’i (7/167) dan dalam sanadnya ada rawi
be7rnama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini memiliki
jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi
menghasankannya dalam “Sunannya” dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul
Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)]
Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun ‘atirah telah
dihapus hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban ‘atirah tidak
mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap
sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :’Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya
dilakukan pada awal Islam.[ Jami ul-ushul (3/317) dan lihat ‘Al-Adilah
Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan
“Al-Mughni” (8/650-651).]
Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka
syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih
kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang artinya) : ” Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari
bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih
kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak
pula kulitnya“. [Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791),
An-Nasa’i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149),
Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220)
dan Ath-Thahawi dalam “Syarhu Ma’anil Atsar” (4/181) dan jalan-jalan
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha]
Mereka berkata [“Al-majmu” 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj” (4/282)
‘Syarhus Sunnah” (4/348) dan “Al-Muhalla” 98/3)] : “Dalam hadits ini ada
dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib,
karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah
seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ….” , seandainya wajib
tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah)
seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini
setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya
[Majmu Al-Fatawa (22/162-163)]
“Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada
mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Siapa yang ingin menyembelih kurban …..” Mereka berkata :
“Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah
(kehendak/keinginan) !” Ini merupakan ucapan yang global, karena
kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan :
“Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang kewajiban itu
digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum
yang ada. Seperti firman Allah :
(yang artinya) : ” Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ….” [Al-Maidah : 6]
Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika
kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah
perlindungan kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan
membaca Al-Qur’an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman (yang artinya) : ” Al-Qur’an itu
hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara
kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus” [At-Takwir : 27]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib”.
Kemudian beliau rahimahullah berkata [Sama dengan di atas] :
Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih
kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah
yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata
(yang artinya) : ” Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia
bersegera menunaikannya ….. ” [Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu
Majah (3883), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun
pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud
(1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya
ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya
Allah. Lihat ‘Irwaul Ghalil” oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)]
Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : “Siapa
yang ingin menyembelih kurban …” sama halnya dengan sabda beliau :
“Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-‘Aini [Dalam ‘Al-Binayah fi Syarhil Hadayah” (9/106-114)]
rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah
disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah”[
Yang dimaksud adalah kitab “Al-Hadayah Syarhul Bidayah” dalam fiqih
Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan
dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam “Kasyfudh Dhunun” (2/2031-2040).
Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat
tahun (593H), biografinya bisa dilihat dalam ‘Al-Fawaidul Bahiyah”
(141).] yang berbunyi : “Yang dimaksudkan dengan iradah
(keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a’lam-
adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya
-pent)”. Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan :
“Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan
kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yang bermaksud
untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tidak
menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :(yang artinya)
: ” Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu” [Aku tidak
mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai
pengambilan dalil]
Dan sabda beliau (yang artinya) : ” Siapa diantara kalian ingin
menunaikan shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi” [Diriwayatkan dengan
lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia
meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877),
9894) dan (919].
Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum’at, (jadi) bukanlah takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya
-sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan
At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dengan sanad yang shahih
dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan
hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.
Wallahu a’lam
Sumber :
Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia
Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul
Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura’, penerjemah Ummu Ishaq
Zulfa Hussein, dinukil dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=494
Selasa, 22 Agustus 2017
pelayanan
jasa aqiqah depok untuk cara pemesanan paket aqiqah, ayah bunda bisa langsung menghubungi operator presentatif kami di call/sm...
0 komentar:
Posting Komentar